Hujan masih meninggalkan jejak pelarianya di tanah ini. Kharisma berbalut angin sepoi yang menerbangkan asa tiap individu. Jejak
pelarian hujan, bagaimanapun jua, akan tercium bahkan oleh
mikroorganisme di luar cakupan mikroskop elektron sekalipun.
Sejak zaman dulu, zaman sekarang, hingga zaman nanti hujan akan terus
berlari, berlari mengejar apa yang tidak kita kejar. Kaki kecilnya
menjilat hampa meninggalkan liur di atap-atap rumah, di tanah
pekarangan, di daun pohon bambu, di mana-mana. Suara erangannya
membahana tiap kali kaki kecil itu mulai melangkah di atap-atap rumah,
di tanah pekarangan, di daun pohon bambu, di mana-mana. Sebagian
menganggap musik harmoni, sebagiannya mencaci.
Pelarian hujan di mulai dari suatu desa di ujung dunia. Lari ke desa
lain dan menghilang. Ia seabstrak realita dan senyata abstraksi benda.
Ia tidak terikat hukum, ia hanya hujan. Membingungkan. Selama perjalanan
itu, hujan tidak jua mengistirahatkan kaki kecilnya berlama-lama. Hanya
saja, ia kerap singgah di sebuah kampung di ujung pedalaman hutan yang
paling dalam. Di mana pohon ratusan tahun masih menjulang, ngarai
ratusan meter masih tersedia, angin bahorok masih menerjang, air masih
masih menggenang, untuk sekadar berduka cita. Menundukkan kepala. Dan
berkelebat lagi. Apakah gerangan yang terjadi? Semua tidak tahu. Jikapun
kalian bertanya pada hujan, ia hanya akan mengernyit sinis dan lalu.
Seperti saat ini, hujan hanya sinis dan menundukkan kepalanya di kampung
itu. Rambutnya tergerai manja di antara getir kakinya yang nelangsa.
Lama
-- G.A.A.S --
Tidak ada komentar:
Posting Komentar