BAB I
PENDAHULUAN
Konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya
sastra ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient being, makhluk yang mengalami
sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra
juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai
dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra memiliki
keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya, dan
sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan
masyarakat dalam berbagai dimensinya (Soemanto, 1993).
Sosiologi sastra
berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sos (Yunani) yang berarti bersama,
bersatu, kawan, teman, dan logi (logos)
berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan,
mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Merujuk dari definisi tersebut, keduanya
memiliki objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat. Meskipun demikian,
hakikat sosiologi dan sastra sangat berbeda bahkan bertentangan secara
dianetral. Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra.
Sosiologi berasal dari kata sos
(Yunani) yang berarti bersama, bersatu, kawan, teman, dan logi (logos) berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra dari
akar kata sas (Sansekerta) berarti
mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Merujuk dari
definisi tersebut, keduanya memiliki objek yang sama yaitu manusia dan
masyarakat. Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra sangat berbeda
bahkan bertentangan secara dianetral.
Sastra menyajikan
gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari
kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar
masyarakat dengan orang-orang, antar manusia, antar peristiwa yang terjadi
dalam batin seseorang. Maka, memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia
dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah
“kebenaran” penggambaran atau yang hendak digambarkan. Namun Wellek dan Warren
mengingatkan, bahwa karya sastra memang mengekspresikan kehidupan, tetapi
keliru kalau dianggap mengekspresikan selengkap-lengkapnya. Hal ini disebabkan
fenomena kehidupan sosial yang terdapat dalam karya sastra tersebut kadang
tidak disengaja dituliskan oleh pengarang, atau karena hakikat karya sastra itu
sendiri yang tidak pernah langsung mengungkapkan fenomena sosial, tetapi secara
tidak langsung, yang mungkin pengarangnya sendiri tidak tahu.
Pengarang merupakan
anggota yang hidup dan berhubungan dengan orang- orang yang berada
disekitarnya, maka dalam proses penciptaan karya sastra seorang pengarang tidak
terlepas dari pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu, karya sastra yang lahir
ditengah-tengah masyarakat merupakan hasil pengungkapan jiwa pengarang tentang
kehidupan, peristiwa, serta pengalaman hidup yang telah dihayatinya. Dengan
demikian, sebuah karya sastra tidak pernah berangkat dari kekosongan sosial.
Artinya karya sastra ditulis berdasarkan kehidupan sosial masyarakat tertentu
dan menceritakan kebudayaan-kebudayaan yang melatar belakanginya.
BAB II
PEMBAHASAN
**
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
(karawang – bekasi)
Chairil
Anwar adalah salah satu penyair terkemuka di Indonesia. Banyak puisinya
bertemakan perjuangan bangsa Indonesia, salah satunya puisinya yang berjudul
Karawang-Bekasi. Dalam puisi Karawang-Bekasi, Chairil Anwar menceritakan
tentang para pahlawan yang gugur dan dimakamkan di sepanjang jarak
Karawang-Bekasi.
Karawang-Bekasi
merupakan puisi yang penuh dengan semangat kepahlawanan yang tak pernah padam.
Terdapat, nilai-nilai patriotisme perjuangan dalam setiap baitnya. Amanat
nasionalisme dan semangat perjuangan juga cukup kental disuarakan oleh Chairil Anwar
. Puisi ini juga merupakan satu cara untuk mengingatkan kita terhadap segala
jasa dan perjuangan yang telah dilakukan oleh para pahlawan.
Puisi
Karawang-Bekasi juga merupakan jembatan untuk menghubungi generasi muda dalam
proses penanaman rasa cinta pada tanah airnya.
**
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap
harap
sekali tiba di ujung dan sekalian
selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan
bisa terdekap.
(Senja
di Pelabuhan Kecil)
**
Cintaku jauh di pulau
Gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar
di leher kukalungkan ole-ole buat si
pacar
angin membantu, laut terang, tapi
terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya
(Cintaku
Jauh Di Pulau)
Puisi karya Chairil
Anwar bersifat ekspresionis dan lugas. Chairil Anwar sangat sedikit menggunakan
kata-kata hiasan yang dianggapnya tidak perlu. Ia cenderung mendekatkan bahasa
tulis dan bahasa lisan, tidak bertele-tele dan langsung pada tujuan. Dan juga
banyak menganut aliran realisme dan ekspresionisme, sehingga banyak menggunakan
sarana retorika yang bertujuan intensitas dan ekspresivitas. Diantaranya
hiperbola, ironi, dan paralelisme.
Puisi
karya Chairil Anwar sangat kaya akan kiasan-kiasan yang tajam dan menikam. Satu
ciri khas puisi-puisi Chairil Anwar adalah kekuatan yang ada pada pilihan
kata-katanya. Diantara gaya khasnya dalam berpuisi adalah menggunakan
warna-warni kuning, hijau, atau lembayung. Setiap kata mampu menimbulkan
imajinasi yang kuat, dan membangkitkan kesan yang berbeda-beda bagi
penikmatnya, menghidupkan suasana, bahasa yang dipakainya mengandung suatu
kekuatan, tenaga, sehingga memancarakan rasa haru yang dalam. Inilah kehebatan
Chairil Anwar, dengan kata-kata yang biasa mampu menghidupkan imajinasi.
Jika
mengamati dan menelaah puisi-puisi karya Chairil Anwar maka kita akan mendapati
sebuah ungkapan batin yang sangat dalam. Dan hal tersebut merupakan ciri khas
karya-karya Chairil Anwar, karena berasal dari representasi hidupnya dan lahir
dari gejolak batinnya.